Senin, 15 Maret 2010

bioskop viva tebet

JIKA KITA membicarakan sinema dan kota Indonesia, mau tidak mau kota itu adalah Jakarta. Jakarta memang telanjur menjadi pusat segalanya, termasuk institusi dan produksi film. Ibukota ini menyimpan begitu banyak masalah, yang ironisnya, seringkali gagal direpresentasikan oleh film-film Indonesia. Jika film belum mampu mengenali dan mengatasi kota yang ditinggalinya sendiri, bagaimana kota-kota lain bisa terbahas? Dan bagaimana kemudian, film-film Indonesia menampilkan Jakarta? Bagaimana kenyataan ibukota ini sendiri memengaruhinya dari jaman ke jaman?

Dalam esainya kali ini, Eric Sasono, seorang kritikus film, membagi masa itu dalam empat kurun waktu. Pada 1970-an ketika perubahan Jakarta masih dicurigai sebagai monster besar yang akan menelan semua warganya; pada 1980-an ketika film mulai menerima sekaligus menolak Jakarta dengan parodi; pada 1990-an ketika film tak berdaya atas Jakarta; dan pada 2000-an ketika sedikit sekali film yang mau bersinggungan dengan Jakarta kecuali meminjamnya sebagai lokasi para arwah gentayangan.

Seperti tak mulusnya generasi film sebelumnya menggambarkan kehidupan masyarakat kelas atas, film Indonesia di masa 2000-an juga tak mulus menggambarkan kehidupan kelas bawah. Terjadi kecendrungan besar untuk menghilangkan sosial dari filmnya. Dalam esainya, Veronica Kusuma—seorang penulis, perancang program film, dan mahasiswi program studi Kajian Media Departemen Film, Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, menyatakan: “Seperti juga kebanyakan film-film lain pasca 1998, film Mengejar Matahari datang hampir tanpa kritik terhadap visual ruang Orde Baru itu sendiri.”

Banyak hal yang mendukung berbagai perubahan cara pandang ini. Banyaknya stasiun televisi swasta yang menurunkan gairah menonton di bioskop—terutama di kota-kota kecil, Jaringan 21 yang menempel di mal-mal ibukota provinsi dan menciptakan jenis penonton baru: anak muda, yang selain mesti diasupi film-film hiburan, saat ini juga memiliki berbagai pilihan tontonan dari film-film DVD bajakan, dan juga festival-festival film dan video di berbagai kota. Film Indonesia bukan lagi pemain tunggal nasional dan harus memiliki strategi khusus untuk meraih penontonnya. Apapun strategi itu.

Kita juga bisa menilik perubahan pengalaman visual ini secara keseluruhan dari esai Ronny Agustinus, "Video: Not All Correct", yang kami muat kembali dari katalog pasca festival OK. Video 2003. Dalam esai yang membahas fenomena seni video dan media baru, budaya, serta teknologi visual yang melatarinya ini, Ronny membahas betapa kita memang mengalami “keterputusan antara seni modern dengan teknologi modern”. Bagaimana “gagasan-gagasan besar Eropa masuk ke Hindia Belanda sebagai ide tanpa landasan materialnya, sementara barang-barang teknologi Eropa masuk sebagai materi tanpa sejarah idenya.”. Hal ini berhubungan dengan bagaimana kita saat ini menyikapi modernitas tanpa rasionalitas. Modernitas akhirnya tidak bisa dipercepat dengan tinggal landas Orde Baru, dan hanya karena boom minyak pada akhir 1970-an, masyarakat kita mendadak merasa telah menjadi modern. Berbagai teknologi baru masuk, begitu juga komputer, CD musik dan perangkat lunak, VCD, DVD bajakan, sempat pula ada siaran tunda MTV diantaranya. Dan semua pengalaman visual inilah, beserta generasi muda yang mengalaminya, yang menjadi latar belakang tumbuhnya seni video di Indonesia. Bagi Ronny, sangat absurd dan mengada-ngada jika perkembangan seni video selalu dihubungkan dengan Nam Jun Paik, seperti yang banyak dipercaya para kritisi dan media massa, karena bagi Ronny, tanpa mengurangi rasa hormat pada apa yang telah dirintis Teguh Ostentrik dan Krisna Murti, ia berpendapat bahwa esensi seni video baru berhasil dicapai oleh generasi setelah mereka. “Generasi yang berbagi pengalaman visual yang sama.”, ujarnya, yang pada akhirnya membuat kita harus berpikir-kembali, atas cara pandang kita terhadap kesenian saat ini. Esai ini adalah esai pertama yang membahas seni video di Indonesia secara kritis dan tuntas dari sudut pandang budaya, teknologi visual, sosial, dan politik.

Untuk edisi ini pula, pada November 2007 lalu, ruangrupa dan jurnal Karbon bekerjasama dengan Kineforum, sebuah bioskop film alternatif di Jakarta, untuk mengadakan program "Sinema dan Kota". Program ini memutar tujuh film Indonesia sejak masa Orde Baru hingga kini; semua dari koleksi Sinematek Indonesia. Pemutaran selama 8 hari dengan 3 waktu penayangan setiap harinya ini dihadiri oleh 323 penonton. Selain pemutaran, program ini juga mengadakan diskusi. Dipandu oleh moderator Mirwan Andan dari ruangrupa, pembicara Eric Sasono dan Veronica Kusuma mempresentasikan esai mereka yang sekarang bisa Anda baca ini. Terima kasih kami untuk Lisabona Rahman, perancang program Kineforum, juga Arif, Petrus, dan Anita untuk kerjasamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar